Oleh: Asep Sapa’at, S. Pd.
Guru sebagai pengajar, perkara biasa. Guru sebagai agen pembelajar, itu baru luar biasa. Mengapa guru sebagai agen pembelajar menjadi sesuatu yang luar biasa? Pertanyaan ini menjadi sangat menarik jika kita mencoba mencermati terlebih dahulu analisis dari Prof. Masaaki Sato, pakar pendidikan dari Jepang, mengenai kelemahan pendidikan calon guru di tingkat universitas—dalam konteks ini Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)—dan kelemahan guru di lapangan. Kelemahan calon pendidikan guru di tingkat universitas sangat tampak dari 3 realitas berikut. Pertama, kuliah yang diberikan di kampus difokuskan pada transfer pengetahuan (transfer of knowledge) keilmuan suatu disiplin ilmu, sedangkan pengetahuan praktis untuk meningkatkan keilmuan dan kompetensi guru dalam mengajar pada kenyataannya tidak pernah diajarkan.
Pembelajaran di kelas sangat bersifat pribadi, rumit, dan sensitif. Untuk itu, seorang guru harus memiliki kemampuan dalam memahami kondisi kelas secara jeli. Dan kemampuan seperti ini tidak dapat tumbuh dan berkembang hanya dengan mendengarkan kuliah teoretis di dalam kelas saja. Kedua, seorang dosen di universitas, secara umum, mengajarkan suatu disiplin ilmu tidak berdasarkan situasi dan kondisi di sekolah. Apa pun jenis teorinya tidak akan pernah diketahui kebenarannya jika tidak diujikan. Oleh sebab itu, seorang dosen seharusnya tidak hanya mengajar teori tentang pembelajaran dari dalam buku referensi saja, tetapi dosen tersebut harus juga selalu belajar dari proses pembelajaran yang terjadi di lingkungan sekolah (SD/SMP/SMA) yang selalu dinamis.
Ketiga, pengetahuan mengenai pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus “learning disorder” (anak yang memiliki kesulitan belajar) harus dipraktikkan di lapangan (ruang kelas). Dengan banyak berinteraksi dengan lingkungan sekolah, kita akan banyak bertemu dengan anak-anak berkebutuhan khusus dalam belajar. Mereka membutuhkan bimbingan untuk menentukan penanganan secara nyata yang tepat berdasarkan hasil penelitian atau keilmuan. Setali tiga uang dengan kelemahan calon guru di tingkat universitas, kelemahan guru di lapangan pun menjadi sebuah realitas yang mesti dicarikan solusinya. Kelemahan utama guru di lapangan adalah banyaknya guru yang tidak memiliki inisiatif untuk belajar.
Cepat merasa puas diri dengan kemampuan mengajar yang telah dimiliki merupakan jebakan ampuh terwujudnya profil guru yang stagnan dalam berkarya, resisten terhadap perubahan, dan keengganan untuk terus belajar sepanjang hayat dalam menjalankan perannya sebagai pengajar. Apa yang harus dilakukan guru untuk keluar dari perangkap ‘kejumudan’ pengembangan kemampuan profesionalismenya? Hanya ada dua pilihan bagi Anda sebagai guru, bergabung di komunitas agen pembelajar atau tetap bersikukuh dengan ikrar “Aku Guru Paling Hebat” yang berhenti belajar. Untuk menjadi agen pembelajar, terlebih dahulu guru harus memahami hakikat menjadi manusia pembelajar. Andrias Harefa dalam bukunya ”Menjadi Manusia Pembelajar” (PT.Kompas Media Nusantara, 2005) secara lugas mencoba mendefinisikan manusia pembelajar dalam pengertian: ”Setiap orang (manusia) yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting, yakni:
pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti ”Siapakah aku?”, ”Dari manakah aku datang?”, ”Ke manakah aku akan pergi?”, ”Apakah yang menjadi tanggungjawabku dalam hidup ini?”, dan “Kepada siapa aku harus percaya?”; dan kedua, berusaha sekuat tenaga mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang bukan dirinya”. Belajar sepanjang hayat, mengembangkan terus potensi diri, dan mengerahkan seluruh kemampuan terbaik dalam mengemban tanggung jawab merupakan 3 karakteristik utama seorang manusia pembelajar. Bagi guru sebagai agen pembelajar, kemauan kuat untuk terus belajar mengembangkan kemampuan profesionalismenya merupakan modalitas utama dalam memberikan kontribusinya yang optimal bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Jika guru sudah tidak mau lagi belajar memperbaiki segala kekurangan diri, pada hakikatnya dia sudah tidak mencintai lagi profesinya sepenuh hati. Gordie Howe pernah menyatakan, ”Jika Anda tak mencintai pekerjaan Anda, berhentilah, dan berilah kesempatan kepada orang lain yang mencintainya.”Saat ini guru sudah tidak memiliki waktu lagi untuk sekedar berdiam diri dalam menyikapi setiap perubahan cepat yang terjadi di dunia pendidikan. Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis melihat ada 4 hal penting yang dapat diusahakan oleh guru untuk menjadi agen pembelajar, di antaranya:
(1) membangun kemantapan-diri daripada mereduksi ekspektasi dengan terus melakukan regulasi diri yang relevan dengan pengembangan profesinya; (2) mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah (seminar, lokakarya, diskusi ilmiah, dsb) secara berkesinambungan dalam merespon secara aktif setiap isu-isu terbaru yang berkembang di dunia pendidikan; (3) mempelajari hasil-hasil penelitian dari berbagai literatur tentang kompetensi mengajarnya yang berhubungan dengan prestasi subjek didik; (4) sebagai hasil dari analisis tugas mengajar pada tingkat dan kurikulum yang berbeda.
Sungguh guru tidak memiliki banyak pilihan lagi untuk bersikap dalam situasi sekarang ini, kecuali terus berpacu meningkatkan kualitas personalnya. Pastikan karya terbaik Anda dapat mengubah wajah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Namun, bagaimana kalau pembuat kebijakan dan stakeholders pendidikan lainnya bersikap acuh tak acuh? Sudah dapat dipastikan badai pendidikan Indonesia takkan pasti berlalu. (***)