Ada satu pertanyaan yang mengemuka sejak saya menjadi mahasiswa tiga dekade yang lalu: Seperti apa mengajar matematika yang baik itu? Memang ada banyak orang yang membicarakan berbagai kriteria guru matematika yang baik. Akan tetapi, sampai sekarang tidak pernah ada seorang pun yang menunjukkan sosok guru seperti itu.
Bagaimana kita memahami konsepsi mengajar yang baik? Sebelum menjawabnya, kita terlebih dahulu memaknai bagaimana pembelajaran matematika yang baik itu? Lebih dari itu, akar permasalahannya adalah bagaimana kita memandang matematika. Apakah matematika itu pengetahuan prosedural atau relasional? Kedua konsepsi tersebut akan menentukan apakah pembelajaran matematika itu bersifat instrumentalis, strukturalis, konstruktivis atau bentuk lainnya.
Saya sering berinteraksi dengan guru inti (master teacher) yang dianggap sebagai panutan bagi guru lainnya. Sebenarnya tidaklah mengejutkan jika akhirnya saya menyimpulkan bahwa para guru lebih cenderung mekanistis. Mereka mengajarkan matematika sebagai penggunaan rumus hitungan, bukan mengajarkan berpikir. Hal inilah yang menyulitkan calon guru dalam memperoleh gambaran konsepsi pembelajaran yang baik di sekitarnya. Ketika mereka berada di bangku sekolah, gambaran seperti itulah yang mereka tangkap. Saya merasa mereka kesulitan mengekplorasi dan mengembangkan makna-makna dari proses pemecahan masalah matematika. Sepertinya mereka lebih suka mendengarkan penjelasan konsep, teori, contoh soal dan mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh dosen. Akibatnya, ketika mereka diajak diskusi materi perkuliahan, mereka tidak menguasainya, tidak percaya diri dan menghindar dengan alasan sudah lupa. Sepertinya pembelajaran matematika selama ini mengajarkan siswa agar menjadi lupa!
Konsepsi Pembelajaran
Keikutsertaan dalam kegiatan Lesson Study (LS) di tahun 2008 membuka jalan. Memang sejak saat itu masih sulit menemukan sosok pengajar Indonesia yang memiliki konsepsi yang baik. Tetapi dari situ saya memperoleh inspirasi tentang apa dan bagaimana pembelajaran yang baik itu. Sedikit demi sedikit konsepsi itu mulai terbangun terutama setelah menganalisis video pembelajaran matematika untuk kelas 2 SD di Jepang.
Kesan pertama terhadap situasi pembelajaran itu adalah sikap siswa yang tertib, santun dan antusias belajar. Ketika guru bertanya, siswa mengacungkan tangan tanpa mengucapkan jawaban. Mereka menunggu dipilih oleh guru. Ketika ada yang terpilih, ia akan akan berdiri lalu menjawab. Memilih seorang siswa untuk menjawab adalah hak prerogratif guru tetapi dilandasi oleh alasan yang berkaitan dengan alur pembelajaran secara keseluruhan.
Di video tersebut guru menunjukkan 5 buah kartu berukuran kertas A6 tanpa sedikit pun berbicara. Guru lelaki itu mempermainkan kartu itu seperti tukang sulap sambil menunggu beberapa siswa. Beberapa siswa mengacungkan tangan sambil berharap dipilih guru untuk diberi kartu. Kemudian guru memilih seorang pria dan seorang wanita untuk maju ke depan. Siswa pria diminta memilih sebuah kartu, melihat dan mengingat isinya dan menyembunyikannya sehingga siswa lainnya tidak mengetahui angka yang tertulis di dalam kartu tersebut. Kemudian siswa pria itu diminta membuat teka-teki. “Angka dalam kartu saya adalah dua tambah dua”. Hampir semua siswa mengacungkan tangan. Guru menunjuk seorang siswa menyebutkan tebakannya. “Angka empat”, kata siswa tersebut. Kemudian guru meminta siswa yang pegang kartu untuk memperlihatkan bahwa tebakan siswa itu benar. Akhirnya guru menempelkan kertas itu di papan tulis. Hal serupa dilakukan terhadap siswa perempuan. Siswa itu memberikan teka-teki “Angka di kartu saya berbentuk seperti kacamata”. Seperti situasi sebelumnya, hampir semua siswa mengacungkan tangannya dan siswa yang ditunjuk menebaknya sebagai 8.
Untuk apa guru melakukan kegiatan itu? Membuka pelajaran seharusnya dikemas dengan menarik dan menantang. Itu menunjukkan bahwa belajar matematika itu menyenangkan karena siswa diajak berpikir. Siswa yang pegang kartu berpikir spontan untuk membuat teka-teki. Di depan kelas itu siswa ini tidak diberi ruang untuk meniru atau meminta pendapat teman. Ia secara mandiri menciptakan teka-teki bagi siswa lainnya.
Selanjutnya guru mengajak siswa melihat ke papan tulis. Di situ tersusun angka 4 dan 8 seperti berikut.
4 ( ) 8 = ( )
Guru meminta siswa memikirkan tanda operasi pada ( ) antara angka 4 dan 8, serta mengisi ( ) sebelah kanan “=“ sebagai hasilnya. Seorang siswa yang ditunjuk memilih operasi “tambah” dan hasilnya 12. Kemudian guru meminta pendapat siswa, apakah hasil 4 + 8 sama dengan 8 + 4? Kebanyakan siswa berpendapat hasilnya sama, tetapi ada siswa yang menyatakan tidak sama. Ia pun diminta menjelaskan dan membuktikannya dengan alat peraga. Melalui diskusi tersebut akhirnya ia memahami bahwa 4+8 = 8+4 sebagai kenyataan yang benar.
Ketika memasuki kegiatan inti, tugas utamanya adalah mengolah data yang disajikan dalam sebuah karton tentang jenis-jenis kegiatan siswa membantu ibunya di rumah. Ada 32 gambar yang merepresentasikan 6 kegiatan yang berbeda yaitu; (1) menyapu, (2) mengepel, (3) mencuci piring, (4) mencuci pakaian, (5) menyetrika, dan (6) merapihkan kamar tidur. Siswa diminta mencari gambar yang muncul 6 kali dan bagaimana cara menemukan gambar itu.
Yang menarik adalah cara guru menyajikan tugas itu. Awalnya guru mengambil 6 gambar yang berbeda (berukuran A5 dan gambarnya disembunyikan terhadap siswa). Guru bertanya “Apa yang biasa kamu lakukan ketika membantu pekerjaan ibu di rumah?” Seorang siswa menjawab bahwa ia membantu ibu mencuci piring. Guru menempelkan gambar mencuci piring yang dipegangnya di papan tulis. Berikutnya menunjuk siswa lain. Ketika siswa itu menjawab mencuci pakaian, guru menempel gambar tentang itu. Demikian seterusnya hingga ke enam gambar tersebut tertempel di papan tulis.
Mengapa guru memutuskan menyiapkan enam gambar kegiatan itu? Mengapa guru bertanya kepada siswa terlebih dahulu sebelum menempelkannya? Sepertinya guru itu telah memperkirakannya; mungkin sebelumnya ia diam-diam mensurveinya. Ia bermaksud memberikan kejutan dan menunjukkan perhatian atas kegiatan mereka di rumah masing-masing. Siswa semakin antusias ketika guru membuka secara perlahan gulungan kertas itu (ukuran A0).
Ketika data sudah tersaji secara utuh, guru menjelaskan tugas yang harus dikerjakan siswa. Ia pun memastikan semua siswa memahami tugas tersebut, yaitu mencari gambar yang muncul tepat 6 kali, dan bagaimana cara mencarinya. Setiap siswa diberi kertas (ukuran A3) sebagai duplikat gambar (data) yang ditempel di papan tulis dan mereka diminta mengerjakannya selama 3 menit saja. Ketika alarm berbunyi stopwatch berbunyi, kebanyakan siswa belum selesai.
Setelah diberi tambahan waktu 2 menit, guru meminta seorang siswa menjelaskan dan memeragakan bagaimana cara memperoleh jawabannya. Ketika siswa itu ke depan, siswa lainnya diminta untuk memperhatikannya. Ternyata jawaban siswa tersebut belum tepat sebab gambar yang diduga muncul 6 kali ketika membilang dan sudah terbilang tidak diberi tanda. Guru menyuruh siswa lainnya maju ke depan. Siswa itu membuat tabel yang terdiri dari enam kolom. Masing-masing kolom mewakili tiap gambar. Tabelnya itu tidak lazim, sepertinya original ciptaan sendiri. Judul kolomnya di bawah diwakili oleh gambar, dan banyaknya gambar yang muncul ada di bagian atas. Ia pun diminta menjelaskan cara mengisi tabel: memberi tanda silang pada gambar yang telah disalin dalam tabel. Setelah itu, semua siswa diminta membuat tabel dan mengisinya, sementara siswa itu menyelesaikan pekerjaannya di papan tulis. Di sesi terakhir, guru menjelaskan tentang manfaat tabel dan bagaimana cara mengisinya. Dengan tabel siswa dapat menentukan gambar mana yang paling banyak/sedikit muncul, dan berapa kali masing-masing gambar itu muncul dengan akurat.
Situasi pembelajaran itu memberikan gambaran penting. Guru memberikan pengalaman belajar, bukan memberikan informasi. Dari pengalaman itu para siswa menemukan gagasan yang saling melengkapi dan dikelola dengan baik oleh guru. Siswa dapat menyajikan data dari bentuk gambar yang berserakan ke dalam bentuk tabel beserta cara mengisi tabel (melakukan tally), secara sistematis. Gagasan para siswa tersebut tersaji dengan baik di papan tulis. Bahkan guru tidak pernah menghapusnya. Di akhir pelajaran siswa menuliskan pengalaman belajarnya.
Video yang diceritakan di atas merupakan salah satu referensi pembelajaran matematika yang baik. Memang ada banyak referensi tentang teori belajar. Akan tetapi, kita akan tetap kesulitan membayangkan apalagi merancangnya jika tidak terlibat observasi dan refleksi terhadap suatu pembelajaran, baik secara langsung maupun tak langsung (video). Tanpa itu kita tidak akan pernah memiliki konsepsi pembelajaran yang diinginkan. Jika itu terjadi maka guru tidak akan dapat mengembangkan lesson plan. (bersambung)