Sebelumnya : Bagian 1 : Konsepsi Pembelajaran
Repersonalisasi Matematika
Ketika kita akan merancang suatu pembelajaran, gambaran pembelajaran yang diinginkan harus ada dalam pikiran kita masing-masing. Akan tetapi itu bukanlah perkara mudah. Kita perlu konsepsi tentang bagaimana melibatkan semua siswa, memberikan bantuan, dan mengatur interaksi kelas. Selain itu, secara jeli kita perlu merumuskan apa yang harus dicapai siswa. Apakah tujuan itu penting dan bermanfaat bagi pembelajaran berikutnya? Bagian mana yang akan difokuskan dan didalami dan bagian mana yang hanya dibahas sekilas? Setelah itu kita memikirkan bagaimana cara mencapainya? Akan dimulai dari apa? Bagaimana situasinya? Bagaimana alurnya? Bagaimana struktur tugasnya? Kira-kira bagaimana respon siswanya? Bagaimana membantu siswa yang kesulitan?
Untuk menentukan tujuan pembelajaran ini, guru perlu memahami struktur matematika, kaitan antara materi yang akan disajikan, dengan materi sebelumnya yang sudah dipelajari, serta kaitan dengan materi yang akan dipelajari di kemudian hari. Kita perlu melakukan kajian yang mendalam tentang materi matematika yang terkait. Ini tidak mudah dilakukan karena karena guru cenderung merujuk kepada buku yang digunakan siswa. Sementara, buku teks yang ada belum baik dan benar. Inilah yang mungkin menyebabkan selama ini para guru memiliki pengetahuan yang terbatas tentang struktur ilmu matematika. Bagaimana kita memiliki konsepsi yang baik tentang merancang pembelajaran matematika?
Di tahun 2010 saya menemukan lesson plan faktorisasi aljabar yang dibuat oleh Masaaki Sato ketika ia mengajar di salah satu kelas di Indonesia. Isinya adalah tujuan pembelajaran, tabel yang terdiri dari dua kolom, kolom pertama berupa kegiatan siswa yang uraiannya adalah urutan tugas-tugas siswa, sedang kolom kedua adalah prediksi respon siswa yang berisi perkiraan berbagai jawaban dalam menyelesaikan tugas yang diberikan.
Setelah mempelajari lesson plan itu saya mencoba membayangkan proses pembelajarannya. Dalam benak saya terbangun gambaran pembelajaran yang konstruktivis berbasis masalah yang selama ini ingin saya pahami dan lihat sendiri prosesnya. Walaupun saya tidak sempat melihat langsung kelas Masaaki Sato, dengan mencobanya di perkuliahan, saya bisa mencontohkan pembelajaran PBL/konstruktivis tentang materi aljabar.
Sebelumnya saya membaca tulisan Pak Didi Suryadi yang membahas pembelajaran yang dilakukan Masaaki Sato dengan Lesson Plan yang belakangan saya pelajari. Awalnya saya kesulitan membaca artikel tersebut. Pikiran saya sedikit terbuka setelah merenungkan dan melakukannya. Saya menyadari pentingnya memetakan konsepsi guru dan siswa serta mengelolanya dengan baik. Ketika saya melakukan itu dan berhasil membangun makna dengan mahasiswa, saya pun merasa senang. Sejak itu saya termotivasi untuk merancang pembelajaran aljabar di kelas yang lebih rendah dan mendiskusikannya dengan guru dan mahasiswa.
Di dalam artikelnya, Pak Didi mengenalkan Didactical Design Research (DDR), istilah yang sama sekali asing tetapi menarik perhatian saya. Saya pun banyak berdiskusi dan ia meminta saya melakukan apa yang disebutnya sebagai repersonalisasi. Ia meminta saya menggali materi persamaan garis dengan pertanyaan: Apa yang melatarbelakangi munculnya konsep sistem koordinat kartesius?
Sebelum saya membaca ulang berbagai referensi tentang geometri analitik, saya memahami bahwa sistem koordinat itu diciptakan oleh Descartes untuk menyelesaikan persoalan geometri. Ternyata malah sebaliknya, ia menyelesaikan penjumlahan, perkalian dan pembagian bilangan real positif yang dinyatakan sebagai ruas garis. Garis–garis yang digunakan itu melibatkan dua buah garis yang saling berpotongan, tetapi tidak perlu saling tegak lurus. Selain itu, grade atau kertas berpetak sebagai bidang koordinat kartesius sudah digunakan oleh para seniman khususnya seniman patung ketika akan mewarnainya. Lebih dari itu, ternyata yang pertama menggunakan bidang koordinat kartesius untuk merepresentasikan fungsi aljabar adalah Newton. (bersambung)