Oleh: Al Jupri, M.Sc.*
Misalkan jarak antara Jakarta dan Semarang adalah 520 km. Kereta A berangkat dari Jakarta menuju Semarang pukul 7:00 pagi dengan kecepatan rata-rata 80 km/jam. Pada hari yang sama, kereta B berangkat dari Semarang menuju Jakarta pukul 9:00 pagi dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam. Pada pukul berapakah kedua kereta tersebut berpapasan?
Bila soal di atas diberikan kepada Anda, kira-kira bagaimana cara menjawabnya? Dari berbagai kemungkinan, saya duga sekurang-kurangnya ada tiga cara berbeda untuk menjawabnya. Cara pertama adalah seperti berikut:
Perhatikan bahwa jarak antar kota adalah 520 km.
Saat jam 9:00, kereta A sudah menempuh jarak sejauh 80 km + 80 km = 160 km. Ini berarti jarak antar dua kereta tinggal 520 km – 160km = 360 km.
Total jarak tempuh kereta A dan kereta B dalam satu jam adalah 80 km + 100 km = 180 km. Oleh karenanya, jarak antar kedua kereta pada jam 10:00 adalah tinggal 360 km – 180 km = 180 km.
Karena 180 km adalah total jarak yang dapat ditempuh kereta A dan kereta B dalam satu jam, dan sisa jarak keduanya adalah 180 km, maka kedua kereta akan berpapasan tepat pada pukul 11.00 pagi.
Cara kedua adalah seperti berikut:
Misalkan total waktu tempuh (dalam jam) yang diperlukan kereta A untuk berpapasan dengan kereta B adalah $latex x$.
Karena kereta B berangkat telat 2 jam daripada kereta A, maka total waktu tempuh untuk berpapasan adalah $latex x – 2$.
Karena jarak antara kedua kereta adalah 520 km, dan berdasar informasi dalam soal serta pemisalan sebelumnya, maka kita dapat membuat persamaan $latex 80x + 100(x – 2) = 520$.
Dengan mudah, kita dapatkan penyelesaian persamaan $latex 80x + 100(x – 2) = 520$ adalah $latex x = 4$.
Dengan demikian, kereta A akan berpapasan dengan kereta B pada pukul 7 + 4 = 11.
Dalam matematika, cara pertama dipandang sebagai cara penyelesaian dengan menggunakan konsep artimetika (bilangan); sedangkan cara kedua dipandang sebagai cara penyelesaian dengan konsep aljabar. Proses yang dipakai dalam kedua cara ini jelas berbeda. Cara pertama, berpikir dalam dunia bilangan–biasanya lebih mudah dicerna karena relatif konkret. Sedangkan cara kedua berpikir dalam dunia simbol yang relatif lebih abstrak.
Mana yang lebih baik antara cara artimetika dan cara aljabar? Jawab pertanyaan ini tidak mudah. Saya pikir keduanya sama baiknya. Tergantung siapa yang menjawab alias bergantung pada wawasan dan pengetahuan matematika atau fisika yang dimiliki individu yang mencoba menjawab soal tersebut.
Dengan memperhatikan dua cara tadi, kita sebagai guru barangkali akan bertanya: Untuk siswa tingkat atau kelas berapa soal di atas cocok diberikan? Kapan pula memberikannya: Apakah di awal, di pertengahan, atau di akhir pembelajaran?
Saya berpendapat, dengan memperhatikan topik matematika yang sesuai, soal di atas dapat diberikan ke siswa SD, SMP ataupun SMA. Bisa diberikan di awal, pertengahan atau pun akhir pembelajaran. Di awal pembelajaran, soal tadi dapat dipakai sebagai titik berangkat suatu konsep matematika dikenalkan, konsep persamaan linear satu variable misalnya. Di pertengahan pembelajaran, soal tadi dapat dijadikan sebagai “jembatan penghubung” antar konsep matematika. Dan di akhir pembelajaran, soal tadi biasa dipakai sebagai aplikasi atau penerapan konsep matematika. Tentu pemakaian soal tadi perlu mempertimbangkan aspek didaktik dan pedagogik–yang (saya duga) sudah sering dipraktikan oleh para guru. Setuju?
***
Oiya, hampir lupa, cara ketiga saya duga biasa dipakai oleh mereka yang “sedikit malas” untuk langsung berpikir serius. Tak lain dan tak bukan adalah dengan cara menebak! He he he… 😀.
***
*PhD student at Utrecht University, The Netherlands.
Catatan: Artikel ini ditulis di Utrecht, 30 Desember 2011.