Oleh: Al Jupri, M.Sc.*
“Pak, tolong dong ajari saya cara membuat soal matematika yang baik!”
Demikian satu pertanyaan yang pernah diajukan seorang guru matematika pada saya. Ya, satu pertanyaan yang jarang ditanyakan, bahkan bisa dikatakan sebuah pertanyaan langka yang layak dimuseumkan. Pertanyaan yang sering diajukan biasanya berkisar tentang cara mencari penyelesaian suatu soal matematika, khususnya soal matematika yang dianggap sukar.
Apa jawab saya terhadap pertanyaan tersebut? Apakah saya mampu menjawabnya dengan baik? Sebelum menjawab pertanyaan, saya sempat berpikir tentang apa yang sebetulnya ditanyakan oleh sang guru tersebut.
Apakah dia bertanya tentang cara membuat soal yang sesuai teori evaluasi dalam pembelajaran? Bila ini yang ditanyakan, maka akan saya jawab bahwa soal yang baik hendaknya memenuhi standar validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, daya pembeda, dan lainnya. Karena itu, buatlah soal yang memenuhi standar-standar tersebut! Tapi, saya berpikir, bukan hal itu yang ditanyakan!
Apakah sang guru bertanya tentang cara membuat soal yang sesuai teori psikologi, khususnya taksonomi Bloom? Bila ini yang ditanyakan, maka akan saya jawab bahwa soal yang baik hendaknya dibuat sesuai tahap kognitif siswa yang akan menjawab soal tersebut. Dalam taksonomi Bloom, ada enam tingkatan domain kognitif, yaitu: pengetahuan, pemahaman (yang sederhana), penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Lagi-lagi, saya berpikir, tampaknya bukan hal ini yang ditanyakan.
Saya pikir, sang guru bertanya tentang cara membuat soal matematika ditinjau dari sisi matematika itu sendiri. Untuk menjawab ini, saya kira tidak mudah–karena tentu yang diinginkan bukan sekedar soal biasa yang dapat dengan mudah dibuat dengan cara mencontek soal-soal yang sudah ada di buku.
Akhirnya, setelah berpikir, cara yang saya lakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan membuat satu contoh sederhana yang dapat dipahami serta menunjukkan bagaimana proses suatu soal matematika dibuat. Dengan cara ini saya berharap dapat dengan mudah ditiru, dipraktikan, dan secara kreatif dapat dikembangkan. Dengan cara itu pula, saya pun belajar membuat soal matematika yang baik.
Inilah proses (kreatif) yang pernah saya lakukan untuk membuat sebuah soal matematika. Dalam kasus ini, saya beri contoh dalam topik barisan dan deret.
1, 4, 16, 64, 256, …
Barisan ini merupakan barisan geometri dengan suku pertama 1 dan rasio 4. Pertanyaan “biasa”, yang sering dicontohkan di buku, misalnya begini:
(i) Tentukan suku ke-6; suku ke-10; dan suku ke-n;
(ii) Suku ke berapakah 65.536?
(iii) Apakah 2.091.754 termasuk salah satu suku dalam barisan tersebut?
Bukan berarti soal-soal yang sering dicontohkan dalam buku tidak baik. Tetapi, yang menjadi masalah adalah bagaimana membuat soal yang lebih baik nan menarik dari soal biasa tersebut? Di sini, akan dicontohkan bagaimana memelintir soal biasa yang sudah kita pahami tersebut menjadi soal yang lebih baik dan lebih menarik.
Perhatikan bahwa barisan geometri tadi dapat ditulis seperti berikut ini:
1, 1.(1 + 3), 4.(1 + 3), 16(1 + 3), 64 (1 + 3), …
Bila angka-angka 1 dan 3 kita ganti berturut-turut dengan m dan n misalnya, maka barisan tersebut akan menjadi seperti berikut:
m, m(m + n), 4(m + n), 16(m + n), 64(m + n), …
Apakah dengan barisan yang terakhir ini sudah cukup dibuat sebuah soal matematika yang baik? Hmm… tampaknya suku-suku yang diketahui masih berlebihan untuk dijadikan sebuah soal. Perlu disederhanakan menjadi seperti berikut:
m, m(m+n), 4(m + n), …
Sampai di sini, dari berbagai kemungkinan, soal yang dapat dibuat bisa seperti berikut:
Jika m>0, n>0 dan keduanya merupakan bilangan bulat, serta: m, m(m+n), dan 4(m + n) adalah tiga suku berurutan dari sebuah deret geometri, maka tentukanlah perbandingan antara m dan n!
Nah, apakah soal ini sudah cukup untuk dijadikan sebuah soal matematika yang dapat dijawab? Bila ya, maka demikianlah proses membuat soal matematika sederhana, yang saya pandang lebih baik dan lebih menarik dari soal yang biasa kita temukan di buku-buku pelajaran. Bila tidak, dengan tangan terbuka, saya tunggu contoh yang lebih baik dari Anda.
Saya berharap, dengan contoh yang saya berikan barusan, pertanyaan sang guru yang saya tulis di awal artikel ini sudah terjawab. Bilapun belum, semoga contoh tersebut bisa memberi setetes “air” yang sedikit mengurangi dahaga keingintahuannya. Amin.
*PhD student at Utrecht University, The Netherlands.
Info : Wirausaha