>> Di Balik Pembelajaran Matematika yang Baik – Bagian 4 : Mendampingi Calon Guru (oleh Endang Mulyana)

Sebelumnya : Bagian 3 : Mendampingi Guru

Selain mendampingi guru, saya pun membimbing penelitian mahasiswa yang menggunakan metode DDR. Saat itu saya mengarahkan mahasiswa untuk merancang pembelajaran berdasarkan analisis learning trajectory. Akan tetapi, hambatannya adalah rendahnya penguasaan mahasiswa tentang konsep dan prinsip serta struktur materi tersebut. Saya pun meminta mereka membaca referensi sebagaimana saya lakukan ketika menganalisis persamaan garis.

Salah satu mahasiswa memilih permasalahan pembelajaran geometri karena ia menduga buku teks di sekolah belum mempertimbangkan level berpikir geometri. Menurut van Hiele, berpikir geometri terdiri dari lima level yaitu, pengenalan/visual, analisis, pengelompokkan/deduksi informal, dedukti dan rigor. Setelah dicek melalui instrumen yang dikembangkan Usiskin, ternyata sebagian siswa kelas VII menguasai level pertama, yaitu visualisasi. Lebih dari itu, banyak juga siswa tidak memenuhi level pertama. Padahal siswa dengan usia yang sama di negara lain minimal mencapai level analisis. Mereka sama umurnya tetapi beda pengalamannya.

Agar memiliki konsepsi tentang level berpikir, saya meminta mahasiswa menganalisa video pembelajaran yang terkait: bagaimana struktur tugas yang dikembangkan, bagaimana respon siswa, bagaimana pola interaksi diantara siswa, siswa dan guru, bagaimana efektivitas penggunaan media, dan yang paling penting, apakah semua siswa terdorong untuk berpikir?

Menurut saya belajar itu adalah berpikir sehingga mengajar itu mengajak siswa berpikir. Apabila siswa hadir di kelas tetapi tidak terlibat untuk berpikir, cuma mendengar atau mencatat tanpa mengerti, itu berarti meniru apa yang dipikirkan guru. Siswa itu belum belajar sepenuhnya. Adapun ciri siswa yang belajar (berpikir) adalah mereka akan menjawab bila ditanya dan akan bertanya bila tak mengerti. Bila tidak melakukan salah satu dari keduanya, artinya siswa itu tidak belajar.

Tugas kedua adalah pendalaman konsep, dan fakta/prinsip serta strukturnya yang terkait dengan materi ajar, ketepatan makna dan bahasa (konteks). Analisis itu dilakukan untuk mengenalkan proses repersonalisasi dan pemetaan learning trajectory. Saya pun melakukan tanya jawab dengan mahasiswa tentang segitiga serta sifat-sifatnya. Ketika ditanya tentang apa itu segitiga, mahasiswa menjawabnya sebagai gabungan tiga buah ruas garis (segmen). Saya pun bertanya kembali apakah setiap tiga ruas garis selalu dapat membentuk segitiga? Untuk menjawab pertanyaan itu kepada mahasiswa itu diberikan 9 buah lidi yang berukuran 1 cm, 2 cm, dan … 9 cm. Ia diminta membuat segitiga yang kelilingnya 15 cm dan menemukan ada berapa segitiga sebarang (ukuran sisi tidak boleh ada ukuran yang sama) yang berbeda yang dapat dibentuk.

Sebenarnya terdapat tiga segitiga yang berbeda yang memiliki keliling 15 cm, yaitu segitiga berukuran 4 cm, 5, cm, dan 6 cm, kemudian 2 cm, 6 cm, dan 7 cm serta segitiga berukuran 3 cm, 5 cm, dan 7 cm. Tidak sembarang lidi tersebut yang jumlah ukurannya 15 cm dapat menjadi segitiga, misalnya 1 cm, 6 cm dan 8 cm atau 1 cm 5 cm dan 9 cm. Mahasiswa mulai memahami bahwa tidak setiap kombinasi tiga bilangan selalu dapat menjadi ukuran sisi-sisi segitiga. Saya pun mengakhiri diskusi itu dengan menitipkan satu pertanyaan kunci: bagaimana syarat tiga bilangan itu dapat menjadi ukuran sisi-sisi suatu segitiga? Agar dapat mengarah pada penemuan learning trajectory, saya pun menambahkan beberapa pertanyaan lagi: Bagaimana sifat-sifat suatu segitiga?; Apa yang dimaksud segitiga sama sisi?; Sebutkan sifat-sifat sama sisi?; Apa yang dimaksud dengan segitiga sama kaki?; Sebutkan sifat-sifat sama kaki?; Berdasarkan sifat-sifatnya, bagaimana hubungan antara himpunan segitiga, segitiga sama kaki dan himpunan sama sisi? Gambarkan dalam sebuah diagram Venn!; Apa yang dimaksud dengan segitiga siku-siku?; Bagaimana sifat-sifat segitiga siku-siku?; Apa yang dimaksud dengan segitiga tumpul?; Bagaimana sifat-sifat segitiga tumpul?; Apa yang dimaksud dengan segitiga lancip?; Bagaimana sifat-sifat segitiga lancip?; Berdasarkan sifat-sifatnya, bagaimana hubungan himpunan segitiga, segitiga siku-siku, segitiga tumpul dan himpunan segitiga lancip? Gambarkan dalam sebuah diagram Venn!

Eksplorasi seperti itu membantu mahasiswa menemukan gambaran tentang apa yang akan diajarkannya. Di pertemuan selanjutnya, kami mulai membahas bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran tentang topic segitiga ini: siswa dapat mengklasifikasikan jenis-jenis segitiga yang digambarkan dalam sebuah diagram Venn. Saya pun kembali bertanya, berapa pertemuan yang akan dirancang agar siswa mencapai tujuan tersebut? Mahasiswa menyebutkan tiga pertemuan dengan rincian sebagai berikut. Pertemuan pertama membahas segitiga dan sifat ukuran sisi segitiga, pertemuan kedua membahas konsep segitiga samakaki, sama sisi, siku-siku, lancip dan segitiga tumpul, serta sifat-sifat segitiga sama sisi dan segitiga sama kaki, dan mengggambarkan dalam suatu diagram Venn meliputi himpunan segitiga, segitiga sama sisi, dan himpunan segitiga sama kaki. Sedangkan pertemuan ketiga mengekplorasi sifat-sifat segitiga lancip, tumpul dan siku-siku, dan menggambarkan dalam sebuah diagram Venn keempat himpunan segitiga itu. Selanjutnya mengeksplorasi kombinasi jenis segitiga berdasar ukuran sisi menggambarkan dalam suatu digram Venn ke lima himpunan segitiga itu.

Setelah mendapat gambaran rinci seperti itu, pertanyaan selajutnya adalah bagaimana struktur tugas yang akan disajikan dari masing-masing pertemuan, dan bagaimana urutan tugas-tugas itu? Untuk menemukan fakta tentang ukuran sisi-sisi segitiga, yaitu syarat ukuran ruas garis agar membentuk sebuah segitiga, mahasiswa memiliki gagasan sebagai berikut: 1) Membuat berbagai segitiga dengan lidi berbagai ukuran sehingga siswa memperoleh kesimpulan bahwa tidak setiap tiga lidi membentuk segitiga; 2) Dengan mengobservasi tiga lidi yang membentuk segitiga, siswa dapat menduga syarat ukuran lidi-lidi itu agar dapat membuat segitiga; 3) Berdasarkan dugaan itu siswa membuktikannya melalui berbagai himpunan tiga lidi yang berbeda-beda; dan 4) Bila diberikan tiga bilangan yang berbeda (anggap satuan sama), tanpa menggunakan lagi lidi, siswa dapat menentukan himpunan (dari tiga bilangan) manakah yang dapat membentuk segitiga.

Di pertemuan selanjutnya kami membahas bagaimana menciptakan situasi awal pembelajaran agar struktur tugas itu menjadi menarik dan menantang bagi siswa? Sebenarnya struktur itu sudah memenuhi syarat situasi didaktik, mulai dari siatuasi aksi, formulasi, dan validasi, serta menyediakan pengalaman berpikir kongkrit dan abstrak. Namun demikian mengkontekstualisasikannya secara familiar bagi siswa tidaklah mudah. Saya mencoba membantunya dengan persegi ajaib berupa teka-teki untuk mengisi kotak persegi 3×3 untuk diisi oleh angka 1, 2, …, 9, sehingga jumlah kolom, baris dan diagonalnya sama, tetapi tidak boleh ada kotak yang berisi sama angkanya.

Tugas berikutnya adalah memprediksi respon siswa atas tugas yang diberikan, dan bantuan apa yang harus diberikan kepada siswa ketika siswa memperoleh kesulitan. Mahasiswa kembali meminta waktu untuk berpikir dan hingga pertemuan berikutnya. Berdasarkan pengalaman, menunjukkan fakta sebagai berikut. Pertama, bila semua siswa tidak berhasil mengisi persegi ajaib itu dengan benar, guru memberi petunjuk/bantuan siswa untuk mengisi bilangan di kotak yang tengah, dengan cara bertanya” bila bilangan 1 hingga 9 diurutkan, bilangan manakah yang terletak di tengah?” Melalui pertanyaan itu, diharapkan mengisi kotak di tengah dengan bilangan 5, dan yang kotak lainnya diisi dengan cara coba-coba. Kedua, bila ada siswa yang berhasil, untuk mengisi kotak yang ditengah, guru meminta siswa itu untuk membuat teka-teki yang jawabnya bilangan 5.]

Kegiatan di atas baru terkait dengan rancangan materi, belum scenario kemasannya yang berkaitan dengan: 1) bagaimana mengelola interaksi siswa dengan guru, interaksi di antara siswa, sehingga siswa selalu focus dan antusias berpikir memecahkan persoalan yang diberikan selama pembelajaran; 2) bagaimana mengalokasikan waktu untuk masing-masing tahapan; dan 3) bagaimana mengemasnya dari segi pemilihan kalimat dalam memberikan pertanyaan ataupun pengarahan. Saya menyadari mahasiswa itu belum memiliki jam terbang yang cukup. Karena itu, saya meminta mahasiswa untuk menuliskan kalimat apa yang akan digunakan, tindakan yang akan dilakukan serta gambaran perasaan siswa. Saya pun sebagai pembimbing tidak berharap banyak akan kesempurnaan proses pembelajarannya. Setidaknya mahasiswa tersebut menghasilkan lesson plan yang original sehingga rekaman video proses pembelajarannya dapat menjadi bahan kajian mahasiswa lainnya, guru maupun dosen. (bersambung)